BIAYA PULSA DAN NELPON SELULLAR DI INDONESIA MAHAL

Senin, 30 Juni 2014

Berdasarkan data yang ada, biaya percakapan telepon di Indonesia dalam setiap tiga menit mencapai 2,5 dollar AS. Jumlah itu tergolong yang terbesar di Asia dan kedua termahal di dunia setelah Cile yang tarifnya sekitar 3 dollar AS. Bahkan, tarif telepon di Indonesia itu bakal terus meningkat. Padahal, di sebagian besar negara, biaya percakapan cenderung diturunkan mendekati nol persen. Keuntungan operator diperoleh dari penggunaan jasa turunan telepon.

"Jadi, bisnis telekomunikasi kita makin tertinggal. Di negara lain operator tak lagi jualan pada pulsa, tapi turunan dari pulsa tersebut. Kita malah semakin meningkatkan tarif pulsa telepon," kata pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri, dalam diskusi "Kesiapan Indonesia Menuju Kompetisi bidang Telekomunikasi" yang digelar Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Jakarta, Senin (17/5). Pembicara lain adalah Muhammad Iqbal, anggota KPPU.
Menurut Faisal, saat ini di Singapura tak sampai 1 dollar AS untuk percakapan selama tiga menit. Malaysia pun hampir sama, sedangkan di Korea Selatan hanya sekitar 2 dollar AS. "Tarif begitu murah, sebab diyakini dapat memberikan penetrasi pada bisnis lain hingga empat kali lipat, baik peningkatan produktivitas kerja, volume produksi, maupun volume ekspor," ujarnya.

Apa penyebab utuama dari Kemahalan tarif pulsa dan telepon ini? antara lain ;

Masalah BRTI

Menurut Iqbal, hingga kini belum ada wasit yang independen dan tegas dalam mengatur dan mengawasi bisnis telekomunikasi. Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) memang sudah terbentuk, tetapi pengelolanya lebih berpihak pada kepentingan operator dibanding membela rakyat. Apalagi, pimpinan BRTI dijabat Dirjen Telekomunikasi.

Kenyataan ini tak lepas dari sistem kerja Departemen Perhubungan (Dephub) yang tidak menyiapkan platform kompetisi yang dilengkapi visi, misi, serta program kerja. Dari 12 kasus persaingan tidak sehat yang ditangani KPPU pada tahun 2003, 11 kasus di antaranya terjadi dalam lingkungan Dephub.

Bahkan, sering dijumpai regulasi yang tumpang tindih antara undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri, dan sejenisnya. Dalam beberapa kasus, Dephub selaku regulator menempatkan diri sebagai operator. "Ini yang aneh," katanya. 

Penyimpangan

Menurut Faisal, hakikat kenaikan tarif telepon selama ini adalah meningkatkan alokasi dana untuk pembangunan sambungan telepon tetap (fixed line) dan kewajiban pelayanan universal (universal service obligation/USO). Namun, fakta di lapangan menunjukkan tak ada pembangunan fixed line. Sebaliknya, dana yang diperoleh dari kenaikan tarif telepon itu hanya digunakan untuk pembangunan telepon flexi.

Itu berarti, kenaikan tarif telepon sama sekali tak dinikmati masyarakat, tetapi hanya oleh operator dan karyawannya. "Artinya, hakikat dari kenaikan tarif telepon sudah rancu, sebab sama sekali tak mengutamakan kepentingan rakyat," ujarnya.

Anehnya, menurut Faisal, belum lagi manfaat kenaikan tarif telepon sebesar 30 persen selama 2001 dan 2002 bagi rakyat tersebut dievaluasi, tiba-tiba pada 1 April 2004 tarif dinaikkan lagi sebesar 25-28,21 persen. Bahkan, penyampaian laporan keuangan 2003 pun ditunda. "Akhirnya, akar masalah dalam bidang telekomunikasi tak pernah selesai," kata Faisal

Ia juga mengingatkan, ke depan, persaingan tidak hanya terbatas pada jasa telekomunikasi konvensional, tetapi semakin beragam dalam bentuk komunikasi elektronik. Oleh karena itu, kerangka persaingan harus konsisten dan mendorong inovasi, investasi, dan mengikuti teknologi mutakhir. Titik berat kaidah persaingan pada sifat jasa, bukan teknologi dan pola telekomunikasi.

Untuk itu, Faisal menganjurkan dilakukan pemisahan antara operator dan manajemen infrastruktur. Dengan demikian, tidak terjadi saling lempar tanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan. Selain itu, hal ini diharapkan akan mengefektifkan USO.
Sumber: Kompas,



15.23

0 komentar:

Posting Komentar